Sabtu, 21 Maret 2009

Makalah dalam Seminar Nasional ILMIBSI

REKONSTRUKSI NILAI BUDAYA DARI PERIBAHASA MINANGKABAU DAN PEMBUDIDAYAANNYA DALAM UPAYA MEMPERKOKOH FILOSOFI ADAT BASANDI SARAK-SARAK BASANDI KITABULLAH (ABS-SBK)[1]

Oleh
Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum
[2]
Dra. Lindawati, M.Hum[3]

1. Pendahuluan
Peribahasa yang terdiri dari ungkapan, pepatah dan perumpamaan selain memiliki bentuk, makna, dan fungsi tersendiri juga diperkirakan mengandung keberagaman nilai baik yang dipedomani maupun yang tidak dipedomani. Karena faktor-faktor seperti arus globalisasi, desakan bahasa nasional dan perusakan lingkungan, nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa perlu direkonstruksi sehingga nilai-nilai itu dapat dipahami dan digunakan kembali secara utuh oleh masyarakat Minangkabau yang pada saat ini sudah mulai berada di persimpangan jalan.
Peribahasa yang hampir-hampir dapat diidentikkan dengan bahasa figuratif, metafora atau analogi menurut Recour (2002), berbeda dari bahasa biasa. Perbedaan itu menjadikannya sebagai bahasa orang cerdik cendikia. Lebih dari itu, peribahasa adalah juga bahasa yang multi fungsi dan membentuk keperibadian. Namun demikian, peribahasa tidak mudah dipahami dan digunakan sehingga perlu direkonstruksi ulang untuk memberikan pemahaman terutama kepada generasi muda dalam upaya memperkokoh filosofi ABS-SBK.
Bertolak dari kenyataan di atas, masalah yang dikaji dan temuan yang ditargetkan dari penelitian ini adalah (1) rekonstruksi semua nilai yang terkandung dalam peribahasa Minangkabau baik nilai-nilai yang dipedomani maupun yang seharusnya dihindari; (2) hubungan antara nilai-nilai budaya yang terkandung dalam peribahasa dengan filosofi adat basandi sarak-sarak basandi kitabullah; (3) tingkat pemahaman generasi muda Minangkabau terhadap nilai budaya yang terkandung dalam peribahasa; (4) langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam upaya membudidayakan nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa.

2. Jenis Penelitian, Teori dan Metode Yang Digunakan
Kajian dilakukan dari perspektif etnolinguistik yang dikemukakan oleh Malinowski dan selanjutnya dikembangkan oleh Duranti (1997), Foley (1997) dan Kramsch (1998). Pada intinya etnolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dengan budaya. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan pragmatik dan etnografi komunikasi. Sebuah peribahasa dapat mengandung banyak makna tergantung kepada faktor etnografisnya. Penelitian dilakukan di seluruh wilayah Minangkabau (Sumatera Barat). Penelitian dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan data lisan dan tulisan. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode SLC (Simak Bebas Libat Cakap) dan SBLC (Simak Bebas Libat Cakat). Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik untuk analisis kuantitatif serta metode padan dan distribusi untuk analisis kualitatif.

3. Hasil Penelitian
3.1 Pemahaman dan Penggunaan Peribahasa
3.1.1 Pemahaman dan Penggunaan Peribahasa oleh Penutur BM Berusia 15-20
Secara keseluruhan kelihatannya, tingkat pemahaman dan penggunaan peri-bahasa di kalangan penutur muda bahasa Minangkabau sangat rendah. Berbagai faktor penyebab rendahnya pemahaman peribahasa di kalangan generasi muda mengemuka. Penutur muda tidak lagi berada di lingkungan di mana peribahasa itu tumbuh dan berkembang. Benda-benda dan objek yang dijadikan peribahasa tidak lagi mereka kenali. Selain dari itu, model berbahasa yang mengacu ke gaya bahasa anak muda di televisi, ragam bahasa kota yang menjadi rujukan adalah juga sangat berkontribusi bagi pelemahan pemahaman peribahasa yang ada dalam bahasa daerah seperti bahasa Minangkabau.

3.1.2 Pemahaman dan Penggunaan Peribahasa oleh Penutur BM Berusia 20-25
Secara keseluruhan tingkat pemahaman dan penggunaan peribahasa penutur dengan usia 20-25 tahun juga tergolong rendah. Penyebab-penyebab rendahnya pemahaman mereka terhadap peribahasa hampir sama dengan yang terjadi pada penutur dengan usia 15-20 tahun sebagaimana dikemukakan di atas. Bila dibandingkan dengan penutur berusia 15-20 tahun, tingkat pemahaman peribahasa penutur berusia 20-25 tahun lebih baik. Pada usia 15-20 tahun, yang menyatakan jarang memahami peribahasa berjumlah 65%, sedangkan pada penutur dengan usia 20-25 tahun, yang menyatakan jarang memahami peribahasa berjumlah 14%. Perbedaan angka keduanya cukup signifikan. Fenomena seperti ini terjadi karena penutur yang sudah beranjak dewasa memiliki akses ke lingkungan dan orang tua-tua mereka lebih banyak dan pengalaman juga sudah berbeda.

3.2 Rekonstruksi Nilai Budaya dari Peribahasa Minangkabau
Penelitian ini berhasil merekonstruksi nilai budaya sebanyak 26 jenis. Nilai budaya tersebut adalah kesia-siaan, keangkuhan, prinsip hidup (teguh pendirian, tidak teguh pendirian, serba tanggung), membuka aib, boros, hemat, cemat, bersih dan teliti, kesantunan, keadilan, undang-undang/hukum alam, kewaspadaan/kehati-hatian, kesabaran, multinilai, solidaritas, kreatifitas, diskriminasi, dominasi, galir, keserasian /keindahan, tidak membalas guna, kebijaksanaan, kemakmuran, ketertindasan dan kikir. Semua nilai budaya itu dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu peribahasa yang memiliki nilai budaya positif dan peribahasa dengan nilai budaya negatif. Peribahasa dengan nilai budaya positif dapat dijadikan sebagai nilai yang dipedomani untuk ditiru, sedangkan peribahasa dengan nilai budaya negatif adalah juga untuk dipedomani untuk tidak ditiru. Kedua kategori nilai budaya yang terkandung dalam berbagai bentuk peribahasa sangat sejalan dengan ajaran syarak (Agama Islam) di Minangkabau seperti terlihat pada diagram berikut.
Diagram 1: Rekonstruksi Nilai Budaya Peribahasa (I)

KITABULLAH
[AL QUR’AN]



Syarak mangato, adat mamakai






ADAT

SYARAK
[ISLAM]

















NILAI YANG DIPEDOMANI
Hemat, Cemat, Bersih dan Teliti, Kesantunan, Teguh Pendirian, Keadilan, Undang-Undang/Hukum
Alam, Kewaspadaan/
Kehati-hatian, Kesabaran, Multinilai, Solidaritas, Kreatifitas, Keserasian /Keindahan, Kebijaksanaan, dan Kemakmuran
NILAI BUDAYA DALAM PERIBAHASA
ADAT BASANDI SYARAK-
SARAK BASANDI KITABULLAH




AL QUR’AN

Al-Furqaan :1-2
dan ayat-ayat lainnya dalam Al-Qur’an



Diagram 2: Rekonstruksi Nilai Budaya Peribahasa (II)

KITABULLAH
[AL QUR’AN]



Syarak melarang, adat tidak membenarkan


ADAT

SYARAK
[ISLAM]


NILAI YANG TIDAK DIPEDOMANI
Kesia-siaan, Keangkuhan, Tidak Teguh Pendirian, Serba Tanggung, Membuka Aib, Boros, Diskriminasi, Dominasi, Galir, Tidak Membalas Guna, Ketertindasan
dan Kikir
NILAI BUDAYA DALAM PERIBAHASA
ADAT BASANDI SYARAK-
SARAK BASANDI KITABULLAH




AL QUR’AN



Al-Furqaan :1-2
dan ayat-ayat lainnya dalam Al-Qur’an


.3 Pembudidayaan Nilai Budaya Peribahasa Minangkabau
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk membudidayakan nilai budaya yang terkandung dalam peribahasa Minangkabau antara lain adalah (1) pembelajaran di sekolah; (2) menciptakan ruang yang lebih luas bagi penggunaan bahasa Minangkabau atau pembiasaan diri penutur bahasa Minangkabau menggunakan bahasa Minangkabau pada situasi-situasi informal terutama di dalam keluarga; (3) mengadakan pelatihan pidato adat atau pelatihan pidato pasambahan karena ragam bahasa Minangkabau pada pidato adat dan pasambahan sangat kaya dengan peribahasa (petatah-petitih, ungkapan dan perumpamaan) dan harus disampaikan melalui peribahasa (ungkapan, petatah-petitih dan perumpamaan); (4) menghidupkan dan melindungi acara-acara adat; dan (5) penciptaan kebijakan strategis oleh para pengambil kebijakan di Minangkabau (Sumatera Barat).


3.4 Kesimpulan
Nilai budaya yang terkandung dalam peribahasa Minangkabau perlu dibudidayakan karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya tersebut merupakan ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, anjuran-anjuran, peringatan-peringatan, dan hikmah-hikmah yang dapat dipedomani untuk mengatur hidup manusia dengan sesamanya, dengan alam sekitarnya, dan yang paling utama dengan penciptanya.



[1] Makalah disajikan pada seminar nasional Implementasi Filosofi ABS-SBK di Kampus, 26 Februari 2009.
[2] Guru Besar Linguistik Fakultas Sastra Universitas Andalas
[3] Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar